Siapakah ISIS di Indonesia? - Kekhawatiran organisasi masyarakat (ormas), menteri agama, dan pimpinan di parlemen terhadap penyebaran paham radikal yang diusung ISIS memang tidak berlebihan. Pengamat terorisme di Indonesia Sydney Jones mengungkapkan, Indonesia menghadapi bahaya laten akibat adanya kemungkinan WNI yang kini bergabung dengan ISIS kembali ke Indonesia. Dengan bekal ideologi, keterampilan militer, dan koneksi ke pasar gelap persenjataan, orang-orang tersebut bisa menjadi ”bom waktu” di Indonesia.
”Kalau dilihat, sampai saat ini teroris di Indonesia masih dalam tingkat amatir. Tapi, di sana pasti mereka mendapatkan banyak ilmu. Istilahnya, mereka itu kuliah S-3 terorisme. Kalau kembali, pastinya sangat berbahaya,” jelas Jones saat ditemui di kantor Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta kemarin (14/3).
Jones menyebutkan lima macam motivasi WNI yang bergabung ke Syria, khususnya dalam ISIS. Pertama, keinginan untuk ikut serta dalam perang akhir zaman seperti yang dijanjikan di sebuah hadis. Banyak simpatisan seluruh dunia yang melihat konflik Syria itu sebagai tahap awal perang besar yang disebut AlMalhamah Kubro. ”Kedua, banyak orang Islam yang ingin berjuang melawan penindasan diktator Syiah. Karena itu, kaum salafi murni di Arab Saudi pun ikut berangkat untuk melindungi rakyat dari diktator,” terangnya.
Ketiga, lanjut Jones, kemudahan Syria sebagai negara tempat jihad. Menurut dia, banyak WNI dengan usia 20-an tahun yang mencoba mencari tantangan dengan berjihad. Namun, Syria lebih mudah diakses daripada lokasi jihad lain seperti Pakistan, Afghanistan, atau Somalia. ”Itu diperkuat dengan motivasi keempat. Yakni, sejak khilafah diumumkan pada Juni 2014, dan memang sudah menguasai wilayah, banyak orang yang penasaran untuk menjadi warga dari negara yang murni Islam. Mereka ingin menjadi bagian dari pemerintah Islam global ini,” ungkapnya.
Jones juga memaparkan, langkah WNI yang berniat bergabung dengan ISIS tak semudah yang dikira. Terdapat proses seleksi terhadap simpatisan. ”Ada tiga akses di Indonesia untuk pergi ke Syria. Pertama, lewat pengikut Amman Abdurraham yang sekarang ada di ISIS. Kedua, lewat jaringan Jamaah Islamiyah (JI) untuk ke Jabhat al-Nusra. Yang lainnya ada di tangan orang-orang salafi. Seseorang harus mendapatkan rekomendasi dari tiga komunitas ini jika ingin bergabung di Syria. Bahkan, kabarnya ada daftar tunggu bagi mereka yang ingin berangkat,” bebernya.
Terkait jumlah WNI yang sudah bergabung ke ISIS, Jones mengaku lebih percaya dengan data Densus 88 yang mengidentifikasi 127 WNI di Syria. ”Tidak boleh sembarangan hitung tanpa identifikasi karena juga ada relawan yang tak ikut milisi,” imbuhnya.
Lalu, bagaimana mencegah WNI yang ingin bergabung ke ISIS? Untuk jangka pendek, Jones mengusulkan agar pemerintah mengambil tolok ukur yang ekstrem. Salah satunya, meminta Presiden Jokowi membuat perppu yang melarang orang ke Syria.
Pengamat Timur Tengah yang juga alumnus Universitas Kuftaro Damaskus, Syria, M. Zainal Aziz menyatakan, masuknya sekelompok WNI ke wilayah Turki dan Syria merupakan fenomena yang awalnya luput dari perhatian pemerintah. Sebelum kabar 16 WNI yang ditemukan di perbatasan Turki, pemerintah seakan luput untuk terus memperhatikan perkembangan kelompok radikal yang masih subur berkembang di tanah air. ”Rakyat cenderung disuguhi isu internal yang berlangsung berbulan-bulan. Itu yang menjadikan informasi terkait ISIS tidak pernah menjadi perhatian,” ujar Zainal saat dihubungi kemarin.
Mantan ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama Lebanon tersebut mengatakan, para WNI yang rela membawa serta keluarga mereka demi bergabung dengan ISIS berasal dari jaringan radikal lama. Mulai kelompok Lamongan, Ciamis, Bangkalan, hingga Solo mendominasi profil mereka yang berangkat menuju Turki dan Syria. ”Ini bukan hanya faktor ideologi. Ini juga terkait dengan faktor ekonomi,” ujarnya mengingatkan.
Sementara itu, mantan kombatan Poso Rafiq Syamsuddin mengungkapkan, di Poso gerakan-gerakan ISIS memang banyak menyasar para mantan kombatan. Ironisnya, upaya tersebut terkesan tak mendapatkan pembendungan serius dari pemerintah. ”Pemerintah sebenarnya tahu itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya terlalu percaya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Red), ya akhirnya tidak ada hasilnya,” tegas pria yang kini menjadi pengusaha radio tersebut.
Rafiq mengatakan, selama ini proyek deradikalisasi BNPT di Poso terkesan seperti tambal sulam. ”Adanya proyek bagi-bagi uang untuk mereka yang dianggap pernah nakal. Padahal, itu tidak menyelesaikan masalah,” ucap pria yang pernah tertangkap dengan tuduhan aksi terorisme tersebut.
Adik terpidana mati kasus bom Bali Amrozi, Ali Fauzi, menyebutkan, membendung WNI yang bergerak mengikuti ISIS sebenarnya jauh lebih mudah daripada menangkal mereka yang bergabung dengan JI. ”Tingkat kerahasiaan ISIS berbeda dengan JI. Kalau JI itu supersilent,” ujar alumnus kamp Mindanao tersebut saat dihubungi kemarin.
Menurut Ali, mungkin Badan Intelijen Negara (BIN) maupun BNPT sudah bisa mendeteksi mereka yang akan bergabung dengan ISIS di Syria. Persoalannya, tidak ada payung hukum untuk menangkap mereka. ”Berbeda dengan di Malaysia. Mereka bisa menangkap warganya yang hendak berangkat dengan tuduhan makar,” terangnya.
Bagaimana upaya BNPT mengikis pengaruh ISIS? Tim ahli BNPT Wawan Hari Purwanto mengatakan, ada sejumlah pelajar Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS. Sesuai data BNPT, mereka merupakan pelajar Indonesia yang belajar di Yaman, Sudan, Arab Saudi, dan Mesir. ”Pelajar-pelajar di kawasan Timur Tengah,” ucapnya.
BNPT mulai mendeteksi arus pelajar Indonesia bergabung dengan ISIS beberapa bulan lalu. Dengan itu, BNPT berupaya mengantisipasi. Caranya, mereka bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang ada di setiap negara di Timur Tengah. ”Dengan mereka kami berkampanye agar bisa mencegah pelajar bergabung,” ujarnya.
BNPT sendiri memprediksi jumlah WNI yang telah bergabung dengan ISIS mencapai 500 orang. Ratusan orang itu campuran dari pelajar hingga orang yang telah berkeluarga. ”Perlu ditegaskan, ratusan orang ini sebenarnya bukan musuh. Mereka harus kita ajak untuk berkomunikasi sehingga bisa mengerti satu sama lain,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala BIN Marciano Norman menerangkan, modus terbaru untuk bisa bergabung dengan ISIS memang menggunakan biro perjalanan. Untuk itu, BIN sedang menyelidiki kemungkinan terlibatnya biro perjalanan tersebut. ”Masih pendalaman,” katanya. (bil/bay/gun/idr/c9/kim)